Rabu, 12 November 2008

Cinta untuk gadis manis mungilku (part II: kupenuhi janjiku padamu)

Cinta untuk gadis manis mungilku part II: kupenuhi janjiku padamu

Akhirnya, hari Jum’at, 1 Agustus 2008 datang juga, setelah kurang lebih satu bulan sebelumnya kujalani hari-hari berat dengan SMSan secara intens untuk nge-brief gadis mungil itu dengan hal-hal berbau kehidupan dan agama. Bangun pagi tadi aku telat Subuhan, karena malamnya pikiranku benar-benar gelisah. Gadis manis itu benar-benar mengganggu pikiranku. Aku tak tahu kenapa aku bisa segugup itu. Inikah rasanya mau memulai hidup baru. Semalam aku sholat istikharoh sampai kuulang 2 kali karena yang pertama kuanggap kurang khusyuk. Setelah itu, sekitar jam 3 pagi aku tidur. Kembali gadis itu hadir dalam mimpiku dengan senyum manisnya, seperti beberapa malam sebelumnya. Subhanalloh, aku masih belum percaya dengan semua ini. Aku masih belum bisa menerima sepenuhnya. Belum genap sebulan aku mengenalnya, tapi hari ini, aku harus membuktikan bahwa aku konsisten dengan kata “insyaAlloh” ketika pada pertemuan keduaku dengan gadis itu dan kedua orangtuanya aku ditanyai apa aku bersedia menikahinya.
Sehabis Subuhan aku browsing di internet sebentar, mengecek email dan ****ku, (censored) ada beberapa ucapan selamat dari kawan-kawan baik di luar negeri sana, termasuk dari Ustadz muda dari Jatim yang menyarankanku untuk menikahi gadis itu, yang saat itu sedang di London, lewat tulisan di ****nya (censored) yang diforward ke emailku. (Terimakasih mas, aku jadi semangat…). Kupikir agak aneh, akad baru akan diikrarkan sehabis Jum’atan nanti insyaAlloh, tapi ucapan selamat sudah pada berdatangan. Lagi asyik-asyik browsing tiba-tiba gadis itu nelpon. Subhanalloh, aku kaget, dan tidak biasanya aku kaget dengan ringtone handphone murahan ngga sampe 500ribuan harganya dan belum berfasilitas polyphonic ringtones itu, apalagi kamera, MP3 Player yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan komunikasi, kecuali bagi para korban mode dan trend aja.
“Assalamu’alaykum, mas…” Gadis itu ternyata.
“Wa’alaykum salam, de’. Ada apa pagi-pagi gini nelpon?” “Goblok!!!” Serapahku dalam hati sesaat kemudian. Sudah jelas hari ini hari bersejarah bagi kami berdua, kenapa juga aku malah keluarin pertanyaan sebodoh itu.
“Mas udah siap? Ade’ barusan ditelpon ustadz dari ****, (censored) beliau tiba sekitar jam 11, langsung ke rumah. Beliau datang sama 3 putrinya. Penghulu juga udah fixed, tinggal mas aja…”
“Ya udah. Mas insyaAlloh habis Jum’atan bisa, de’. Ntar jemput ya. Di depan gang aja. Mas pusing banget, migraen mas kumat lagi.” Jawabku datar. Mungkin anda semua baru menemui orang sebodoh aku yang sewaktu mau nikah masih belum menetapkan jam, baru tanggal doang. Yah, inilah dunia nyata, ngga semua bisa berjalan seperti apa yang kita harapkan.
“Aduh mas, kenapa malah sakit? Ade’ jemput mas terus ke Rumah Sakit sekarang apa gimana? Takutnya ntar kenapa-kenapa…” Astaghfirullohal adziem, maafkanlah aku ya Alloh sudah membuat anak ini cemas. Ada nada kecemasan yang jujur dalam kalimat-kalimatnya.
“Ngga usah de’. Makasih. InsyaAlloh acara lancar nanti.” Jawabku datar, dingin, tanpa ekspresi.
“Ya udah kalau gitu. Ade’ masih nunggu pop and mom, mereka lagi di perjalanan kesini sama kak ***. (censored) Urusan lainnya udah fixed.” Jawabnya dengan nada gembira, membuatku menangis penuh penyesalan dalam hati.
“OK.”
“Yuk, miss you, love you, kiss you, assalamu’alaykum…” Salam khasnya kembali terdengar begitu merdu di telinga.
“Miss you too, love you too, kiss you too, wa’alaykum salam…”
Damn… Kenapa beberapa hari belakangan ini aku tidak bisa santai sih? C’mon boy, jangan membuat khawatir gadis manis mungil yang menunggu ikrar janji setiamu itu, menunggu kesediaanmu untuk menjadi imamnya, pembelanya, pelindungnya, dan tempat berbaginya di dunia yang brengsek ini. Jangan sia-siakan kepercayaannya, orang tuanya, teman-temanmu, dan ustadzmu pada dirimu yang with no reserve itu. Jangan menambah beban kehidupannya yang sudah tenggelam dalam kehancuran dunia jahanamnya itu. Mana sisa-sisa kejayaanmu sebagai mantan el-crocodilo yang dulu bisa mendapatkan gadis hanya dengan lirikan mata tajammu, dan bisa diputus pacarmu tanpa rasa sedih, bahkan dengan senyum terkembang yang sering kamu banggakan dulu? Tunjukkan ketegaranmu dalam menghadapi berbagai masalah yang tidak bisa dibilang ringan selama ini. Ingat, kamu laki-laki, bukan banci. Ambil nafas dalam-dalam, tahan… 1, 2, 3, hembuskan pelan-pelan. Udah lega? Ayo dilanjutin lagi ceritanya…
Seharian itu aku ngga tau apa yang mau kuperbuat. Aku benar-benar bingung. Editing juga tidak bisa konsen sama sekali. Diantara kedua sahabatku yang ikut pekerjaan editing itu, hanya 1 yang kuberi tahu, jadi dia bisa memaklumi dan banyak mengambil alih tugasku (terimakasih setulusnya kuucapkan untukmu, sahabat…). Sampai tiba saatnya jam Jum’atan hampir masuk aku masih belum bisa fokus. Lalu aku berangkat Jum’atan bersama kedua sahabatku itu, seperti biasa. Sehabis Jum’atan aku menunggu di depan rumah, sesaat kemudian mobil *** **** (censored) mewah berwarna hitam itu datang juga. Yang nyetir bukan gadis itu, tapi kakaknya. Pintu belakangnya terbuka, seraut wajah manis keluar sedikit dan berkata, “Mas, ayo…” dengan wajah penuh kebahagiaan yang tidak dibuat-buat.
Aku masuk ke mobil itu dengan perasaan yang sangat kacau. Gadis itu ternyata tau keadaanku, dia mencoba menghiburku. Tapi aku tidak bisa merespon joke-jokenya sepantasnya, maafkan aku mungil… Kira-kira 10 menit kami sampai di rumah besarnya. Ramai sekali… Aku cuma bisa terdiam. Aku keluar mobil dengan wajah menunduk, agak pucat malah. Aku diam saja. Kulirik kedepan, di pintu papa gadis itu dan ustadzku sudah menunggu dengan wajah yang cerah, membuatku merasa down banget. Waktu mau masuk ke rumah, papa gadis mungil itu dan ustadzku menyambutku, memelukku dengan hangat. Sehabis itu papanya masuk ke dalam, mempersiapkan segala sesuatunya, sedangkan ustadzku melepas kangennya dengan pertanyaan-pertanyaan yang, sejujurnya, terasa seperti menusuk hatiku dengan besi panas.
“Apa kabar, nak? Baik-baik aja? Akhirnya antum menikah juga, antum sudah mengambil langkah berani. Congratulation. Mulai hari ini, antum memegang amanah besar, berat. Antum akan genapkan separuh iman antum. Jangan anggap semua itu enteng.” Ceramah ustadzku yang membuatku down, seolah-olah aku akan menghadapi hukum gantung…
“Baik-baik aja ustadz… Sebenarnya ini karena saran, yang sejujurnya sedikit memaksa, dari seorang sahabat juga.” Jawabku pendek, datar, dingin, tanpa ekspresi.
“Ana sudah dengar cerita lengkapnya dari calon istri antum. Ana dukung sahabat antum itu. Jangan ngga semangat gitu. Apa antum mau kecewain sahabat dan calon istri antum itu? Ikhlas, le (jawa: nak). Antum sedang dalam jihad fisabilillah, insyaAlloh. Seorang istri cerdas, baik akhlaknya, baik wajahnya, baik keturunannya, baik rejekinya, dan sholehah insyaAlloh, akan mendampingi antum dalam perjuangan ini. Apa lagi yang antum cari? Antum boleh caci maki dan kutuk ana dan keluarga ana, jika ternyata istri antum nanti banyak merepotkan antum.” Duh, mana berani ana mengutuk antum, yaa ustadz…
“Bagaimana dengan… ?”
“Poligami bukan dosa, dalam kasus ini malah masuk kategori darurat. Antum jalani ini dengan ikhlas saja dulu, urusan de’ ***** (censored) nanti kita pikirkan bersama. Memang, ini berat. Ana tau betapa cinta de’ ***** (censored) sama antum, dan begitu juga sebaliknya. Apalagi antum sudah ada janji sama Alloh untuk menikahi dia. Tapi ingat, kalau cuma cinta, putri bungsu ana pun 8 tahun memendam cintanya pada antum. Afwan, bukan bermaksud membuka cerita lama, ana cuma mau ingatkan antum, nikah itu ibadah, dan zina adalah dosa. Sekarang ana tanya, antum ikhlas ngga nikahi de’ ***** (censored) hari ini? Orang tuanya sudah datang, semua udah siap. Tapi kalo antum belum ikhlas, sebelum ijab kabul terucap antum masih bisa mundur!” Baru kali ini kudengar ustadzku setegas ini. Aku hanya bisa tertunduk diam.
“Shit!!!” Serapahku dalam hati. “Kenapa ustadz bisa tau kalau aku belum ikhlas sepenuhnya menerima calon istriku ini?” Tanyaku dalam hati. Ya Alloh ya Robbi, inikah hukuman bagiku sudah menjalani pacaran dengan lebih dari 70 wanita selama ini… Bukankah Engkau tahu ya Alloh, bahwa bukanlah mauku menjadi buaya seperti itu… Bukankah Engkau tahu bahwa selama ini aku hanya pernah menembak cewek sebanyak 3 kali, 1 kali ditolak dari 3 itu, dan yang terakhir sudah kujaga lebih dari 9 tahun belakangan ini ya Alloh… Kenapa harus seperti ini? Apakah tidak ada yang lebih membahagiakan gadis mungil itu selain aku…
Tiba-tiba gadis mungil itu mendatangi kami. Mencoba menengahi perdebatan seru kami, sesuatu yang tidak pada tempatnya bagi adat orang Jawa seperti kami berdua. Yah, dia memang tidak paham masalah budaya itu, dia hanya bermaksud baik aja, dan jujur kuakui, itu dilakukannya karena cinta tulusnya padaku. Dalam situasi lain, aku mungkin saja akan ketawa mendengar dia bilang, “Ustadz, kasian mas ***** (censored), jangan dimarahi terus ya.” Tapi dalam keadaan seperti ini, aku dan ustadz cuma bisa memandangnya dengan pandangan tajam. Dia menunduk, diam, merasa bersalah, mungkin menyesal. Ustadz kemudian menenangkan hatinya…
“Udah de’, anti tenang aja. Persiapkan aja segala sesuatunya dengan baik. Calon suami anti ini rupanya rindu sama perdebatan-perdebatan kami seperti dulu, maklum dia keras kepala, ngeyel, dan lama ngga ketemu. Jadi kasih kami waktu sedikit untuk obati rindu kami ini. Santai aja ya…” Pinter juga ustadzku ini untuk cari alasan. Aneh…
Kami melanjutkan adu argument itu lagi setelah calon istriku itu kembali kedalam untuk menyesuaikan pakaiannya denganku yang memakai celana hitam dan batik coklat agak tua.
“Ana tanya, apa yang sudah antum janjikan pada gadis itu yang disaksikan wali-nya pada pertemuan kedua kalian?” Duh, kok ustadz tau sedetail itu…
“Ustadz udah tau, jadi ana tidak perlu menjawab pertanyaan antum.” Diplomatis juga ya gue… Sebenarnya, bukan diplomatis, aku cuma mau menghindari menjawab pertanyaan-pertanyaan bernada “memojokkan” seperti itu aja kok, hahahahahahahahahahaha…
“OK. Ana udah cukup kasih tausiyah. Antum sudah dewasa, dan ana haqqul yakin antum dalam keadaan sadar, tidak mabuk, tidak terbawa perasaan, tidak gila, dan tidak tidur sewaktu menyatakan kesediaan antum. Sekali lagi, antum sudah dewasa karena berani mengikrarkan itu, dan sudah tak pantas ana panggil antum, “nak” atau “le” lagi.” Duh beratnya…
“Na’am, ustadz. Ana insyaAlloh udah yakin. Tapi ingat ustadz, ana belum ikhlas sepenuhnya, masih ada satu gadis yang mencintai saya selama 9 tahun lebih, sehingga rela mengorbankan nyawanya sekalipun untuk ana. Meski pengorbanan seperti itu dalam agama kita ngga benar, ana tetap harus hargai itu. Mohon dimaklumi. Setelah akad, insyaAlloh ana akan membangun keikhlasan itu. Billahi, ana juga cinta sama dia. Ustadz ngga perlu ragu.” Jawabku dengan nada yang lumayan meninggi karena tadi sempat dipotong kalimatku.
“Ana pegang kata-kata antum. Antum laki-laki, antum sebentar lagi sah menjadi imamnya dunia akhirat, jadi pemimpin hidupnya, jadi pelindung dan pembelanya dari segala bahaya dan ancaman, jadi tempat curahan hatinya saat dia gelisah, jadi penghiburnya saat dia susah, jadi pakaiannya didalam maupun diluar rumah, jadi selimutnya saat dia kedinginan, jadi pembantunya sekaligus obatnya saat dia sakit atau hamil, jadi penjaga kebahagiaannya, jadi satu tubuh dan jiwa dengannya, jadi gurunya saat dia ingin belajar, jadi pelurusnya ketika dia melenceng dari jalur, dan yang paling utama, jadi penanggungjawabnya di Yaumil Hisab nanti…” Astaghfirullohal adziem, Allohu akbar, laa haulaa walaa quwwata ila billah. Ini motivasi apa ancaman, kenapa semua terasa begitu berat.
“Ustadz, apakah semua orang yang mau menikah didepan ustadz juga dikasih nasehat seberat ini. Sejujurnya ana tanya, ustadz memotivasi ana apa nge-down-kan ana?” Huffh, keluar juga protesku ini.
“Ustadz udah angkat antum jadi putra ana sendiri sejak tahun **** (censored), ketika pertama kali antum datang ke ana dan bilang ingin sembuh dari ************** ******* (censored), ingin keluar dari dunia hitam, dan ingin belajar agama. Ana angkat karena antum berbeda dengan yang lain. Ana sudah berikrar didepan istri dan putri-putri ana bahwa ana sudah ambil antum menjadi putra antum, dengan nama Alloh. Apa antum sudah lupa?”
“Subhanalloh, ana lupa. Maafkan ana, abi...” Jawabku sambil manjatuhkan diriku, berlutut memeluk kakinya. Dia merengkuh pundakku lalu menarik tubuhku supaya berdiri lagi.
“Antum ngga perlu minta maaf…” Jawabnya lembut sambil memandang mataku dengan pandangan penuh kasih sayang yang bisa kurasakan, begitu dalam. Tapi aku belum puas.
“Lalu apa hubungannya ustadz mengambil ana jadi anak dengan pertanyaan ana tadi?”
“Antum masih belum paham? Sebagai orang tua, wali, ana sangat paham bahwa kehidupan antum sangat keras, antum orangnya tahan banting tapi mudah tersentuh, cerdas tapi suka serba cepat, keras kata dan sikap tapi lembut hati, emosian tapi juga penyayang, dan banyak hal lain. Karena itu, ana berikan nasehat buat antum yang lebih keras daripada orang dan santri lain. Paham?!!!” Jawab ustadz dengan suara keras sehingga calon istri dan mertuaku yang ada didekat situ juga mendengarnya. “O gitu… Yayaya… Terimakasih ustadzku… Abi…” Kataku dalam hati.
“Na’am, ana paham sekarang.”
“OK. Karena antum bilang sudah paham, sekarang buktikan itu. Antum putra ana satu-satunya. Jangan bikin malu ana. Ana percaya antum mampu.”
Ustadz menyemangatiku dengan tepukan di pundak kananku, lalu kami berdua masuk ke dalam bersama-sama. Ustadz berbicara dengan orang tua gadis itu. Semua sudah di posisinya. Aku duduk didepan meja kecil dengan sebuah mushaf Al-Qur’an dengan transliterasi latin dan terjemahan Indonesia serta sebuah bungkusan berisi mukena serta sajadah yang kubeli beberapa minggu lalu. Aku heran sebenarnya, gadis selevel dia kok cuma minta 2 benda itu untuk pernikahannya. Ngga seperti teman-temannya yang nikah dengan mas kawin yang bisa membuatku kena serangan jantung seandainya aku dimintai hal yang sama. Tapi untung juga. Dengan statusku sebagai penulis/editor yang lagi merintis ini, apa aku akan mampu jika dimintai mahar lebih dari itu. Masih mending ada sedikit uang cadangan yang bisa kupakai untuk beli mahar sehingga ngga perlu ngutang.
Gadis itu duduk agak jauh dari tempatku duduk di pojok ruangan didampingi mamanya dan putri bungsu ustadzku, yang baru kenal tadi pagi beberapa saat sebelum waktu sholat Jum’at dan anehnya mereka langsung akrab seolah sudah mengenal lama. Aneh, karena aku tau betul, putri bungsu ustadzku yang dulu mau dijodohkan sama aku itu, orangnya sangat pendiam, pemalu, dan meski kuliah S2 di *******, (censored) tapi dia sangat memegang teguh syari’at pergaulan Islam yang ketat itu. Dia mencintaiku sejak pertama kali melihatku, namun sampai sekarang sudah lewat 8 tahun dia tak pernah mengatakannya padaku, dan aku tahu itu dari ustadz sendiri. Lalu disampingku duduk 2 teman *******, (censored) yang selalu ada tiap kubutuhkan. Penghulu duduk di sebelah lain meja di hadapanku, bersama dengan papa gadis itu yang beberapa menit lagi juga harus kupanggil papa. Para undangan berjumlah sekitar 20 orang terdekat kami duduk di sekeliling kami membentuk lingkaran yang terbuka di depan gadis itu. Suasana sangat hening, menimbulkan perasaan nervous yang lebih gawat lagi. Sekiranya aku kurang bisa mengontrol diri, sejujurnya aku sudah pingsan atau melarikan diri dari ruangan yang wangi ini.
Acara dibuka dengan sambutan singkat dari seorang temanku peneliti muslim senior (dalam bidang yang sama denganku) dari Amerika, lalu sambutan dari seorang dosen sospol *** asli *****, (censored) yang menjadi teman debatku sejak SMA dulu mewakili pihak laki-laki (yang bukan lain adalah aku…), dilanjutkan sambutan singkat dari paman gadis itu, yang baru kukenal sesaat sebelum acara dimulai tadi, mewakili pihak perempuan. Dia menerangkan kenapa pernikahan ini dilangsungkan secara syirri dan kenapa papa gadis itu menyetujuinya (tentu saja alasan ini ngga akan kubeberkan disini). Sehabis itulah acara inti yang sangat mendebarkan dimulai.
Tangan kananku disalami mr. Penghulu, lalu beliau mengucapkan akad ijab, yang tololnya, tidak aku dengar dengan khusyuk dan lengkap karena saking nervousnya aku saat itu. Sebuah ketololan yang takkan tertebus dengan apapun juga seumur hidupku. Maafkan aku istriku, maafkan aku papa mama, maafkan aku ustadzku, dan semua yang menaruh kepercayaan besar ini di pundakku saat itu, dan kedepan nanti. Aku khilaf, bukan sengaja, bukan tak serius, tapi ini benar-benar di luar kendaliku, hamba yang dho’if ini. Selesai penghulu mengucap ikrar ijab, aku mengucap ikrar kabul yang memang sudah kuhafal sejak beberapa hari yang lalu.
“Saya… (Shit! Kenapa harus gugup dan gagap begini. Aku diam sejenak, kuteringat nabi Musa as yang lidahnya gagu karena pernah menggigit bara ketika masih bayi, kuingat beliau memohon pada Alloh untuk dilancarkan lisannya untuk menghadapi Fir’aun, lalu kumohon pada Alloh untuk melancarkan lisanku juga… Kukuatkan kembali hatiku, lalu akhirnya...) Saya terima nikahnya ************************ binti *****************, (censored) dengan maskawin sebuah Mushaf Al-Qur’an dan seperangkat alat sholat, dibayar tunai…” Ikrarku dengan segala kemantapan yang mampu kuusahakan.
Kami berdua sudah sah sebagai suami istri. Ruangan menjadi lembab dengan lelehan air mata, tak terkecuali aku dan gadis mungil yang sudah jadi istriku itu. Dia memeluk mamanya dan putri ustadzku agak lama. Setelah itu ustadz memimpin doa, dilanjutkan wasiat pernikahan yang lumayan panjang, disertai dengan sindiran-sindiran edukatif khas ustadz. Di sela-sela khutbah itu aku SMS istri mas Ustadz dari Jawa Timur, karena suaminya yang “memaksa”ku menikahi gadis mungil yang sekarang kupanggil istri itu sedang ke London. Setelah dibalas, aku kembali ikuti acara sampai selesai. Diantara khutbah ustadzku, terselip kalimat-kalimat yang membuatku dan istriku saling berpandangan, dan kemudian membuat air mata kami berdua membanjir ke pipi, kalimat yang begitu menusuk jantungku, yang kurasa ada bagusnya untuk dibagi disini, sebagai peringatan untuk para lelaki yang mau berkomitment dalam ikatan yang kuat.
“***** anakku, ana tahu betul sifat dan sikap antum. Ana paham bagaimana antum menjalani hidup selama ini. Antum orang yang sangat sering tenggelam dalam kesibukan antum sendiri, seolah-olah antum hidup sendiri di dunia ini. Karena itu ana ingatkan dihadapan semua hadirin wal hadirot sekalian, antum sekarang tidak sendiri lagi seperti hari-hari yang telah lalu. Mulai sekarang, kalau antum tidak pulang sampai larut malam tanpa ijin, akan ada seorang wanita yang tidak bisa tidur karena mencemaskan antum. Kalau antum pergi berhari-hari tanpa kabar, akan ada seorang wanita yang membanjiri bantalnya dengan air mata kegelisahannya. Kalau antum pergi berbulan-bulan tanpa berita, akan ada seorang wanita yang menderita lahir dan batin. Kalau antum sakit atau kecelakaan, akan ada seorang wanita yang ikhlas mempertaruhkan segalanya demi kesembuhan antum, sekalipun itu selembar nyawanya sendiri. Kalau antum meninggal duluan, akan ada seorang wanita yang merasa hidupnya hampa, sekalipun dia bisa menikah lagi…”
Nangis semua hadirin wal hadirot yang ada disitu mendengar kalimat-kalimat berat itu. Selesai akad, aku dan istriku langsung masuk kamarnya, – tak menghiraukan tamu-tamu lain – kamar yang indah, dan disiapkannya dengan tangannya sendiri. Terus terang aku kagum juga sama istri mungilku ini. Aku terharu dengan persiapannya. Dia memakai rok hitam, baju muslimah (emang ada ya…) batik warna coklat tua, dengan jilbab besar warna hitam, sangat pas dengan pakaian yang kupakai saat ini. Aku terus terang merasa malu berduaan dengannya. Diapun sepertinya merasakan hal yang sama, bisa kulihat dari pipinya yang memerah. Kami cuma pandang-pandangan untuk beberapa lama, tanpa ada kata-kata terucap sedikitpun. Aku bingung gimana harus memulainya, tapi Alhamdulillah, aku teringat satu doa yang kupelajari dari buku kumpulan hadits Riyadhlus Sholihin karya Imam Nawawi semalam, terutama dalam bab-bab tentang pernikahan.
Kami duduk berhadapan di salah satu sisi kasur – sepertinya istriku ini paham bahwa aku tidak terbiasa tidur di ranjang – dengan spray warna hijau cerah, lalu kupegang kepalanya, kubaca ta’awudz, basmalah, dan doa “Allohumma innii as aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa ‘alaih, wa a’uudzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltahaa ‘alaih” dan dia mengamininya. Sehabis itu kuajak dia sholat sunat dua rokaat, setelah itu aku diam sejenak, mengingat-ingat doa berikutnya, setelah kuingat kulanjutkan doa “Allohumma baariklii fii ahlii wa baariklahum fiyya, Allohummaj ma’bainanaa maa jama’ta bikhoiriw wa fariq bainanaa idzaa farroqta ilaa khoirin”, diapun mengamininya lagi dengan khusyuk. “Alhamdulillah…” lirih kami berbarengan. Setelah itu kucium keningnya, dia memejamkan mata, seolah-olah menikmatinya. Di luar kudengar adzan ‘Ashar berkumandang, Alhamdulillah ada alasan untuk memecah kekakuan ini lagi.
“De’ udah ‘Ashar, kita jama’ah yuk…” Ajakku sambil mengulurkan tangan kiriku. Dia cuma mengangguk pelan, mengulurkan tangan kanannya, lalu ikut aku keluar kamar ke tempat wudhlu di bagian agak belakang rumah besarnya itu. Melihat kami keluar beberapa tamu berlari menyalamiku dan istriku tanpa menyentuhnya. Setelah kami ucapkan terimakasih seperlunya, kami teruskan ambil wudhlu, tak mempedulikan pertanyaan-pertanyaan yang menggoda kami, menanyakan akan bulan madu kemana, dan seterusnya… Tak perlu dijawab. Pernikahan seperti yang kualami ini tidak membutuhkan walimatul ‘ursy, tidak butuh bulan madu, selain syukuran kecil-kecilan, karena setiap saat bahaya mengancam kami.
Selesai wudhlu kami kembali ke kamar, lalu kami sholat ‘Ashar berdua. Baru kali ini kurasakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang sangat indah, yang belum pernah kurasakan sebelumnya, meski aku sudah sangat sering mengimami calon istriku yang di *****. Ada rasa bahagia yang sangat dalam, ketika aku salam dan melihat sepintas istriku yang juga salam. Inikah rasanya menikah? Sehabis itu kami berdoa sendiri-sendiri di hati – aku belum hafal doa-doa standar sehabis sholat dalam bahasa Arab, selain itu aku meyakini bahwa do’a itu urusan hamba dengan Robb-nya, tiap hamba punya urusan sendiri, jadi bagiku doa dipimpin itu sama saja dengan pemaksaan kehendak dari Imam pada makmumnya – dengan kekhusyukan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Sehabis itu dia menyalamiku, mencium punggung tanganku dengan penuh kelembutan. Aku balas mencium keningnya dengan kelembutan yang kuusahakan sebanding. Lalu kami berpelukan agak lama, dengan dada kami menempel erat sehingga kami bisa merasakan detak jantung kami masing-masing. Indah sekali. Ya Alloh, maafkan aku sudah banyak membuat masalah sebelum ini dan baru menyadari nikmat-Mu yang satu ini setelah mengalaminya sendiri. Sungguh aku menyesal, ya Alloh.
“De, ade’ mau malam pertama kapan?”
“Ade’ ikut mas aja. Sepertinya mas lelah banget ya. Nanti malam istirahat saja ya. Ngga usah buru-buru masalah malam pertama, tenangkan dulu pikiran dan hati mas. Lagian nanti masih harus antar keluarga ustadz ke bandara sama lepas tamu-tamu. Ade’ mau SMSan sama mba’ **** (censored) nanti malam. Ngga apa-apa kan?”
“Ya, terserah ade’. Mas keluar dulu ya. Mau ngobrol dulu sama ustadz dan pak *******, (censored) lama ngga ketemu mereka, mas rindu pengen debat sama mereka lagi. Ade’ ngobrol aja dulu sama de’ *****, (censored) putri bungsu ustadz, dia pemahaman dan pengamalan agamanya bagus banget, ade’ bisa belajar banyak dari dia.”
“Ya, mas.” Setelah itu kami berpelukan sekali lagi, lalu keluar kamar.
Diluar kamar aku langsung mendatangi ustadz yang sedang ngobrol sama pak ******* (censored) dan mertuaku. Mereka menceritakan semua kenakalan-kenakalanku dulu, dan menceritakan sedikit kelebihanku terutama sebagai kutu buku, yang sering meminjami pak ******* (censored) buku-buku politik sebagai referensi mengajar di ***. (censored) Heboh banget pokoknya. Aku bergabung dengan mereka dan larut dalam obrolan. Sesekali aku melirik istriku yang ngobrol sama putri bungsu ustadzku dan kakak-kakaknya, serta mamanya sendiri. Sebentar-sebentar mereka ketawa kecil. Beberapa tamu pada pulang, dan akhirnya teman-temanku dan istriku ngobrol juga pamit. Istriku mengantarkan mereka berempat ke bandara dengan mobilnya, sementara aku dirumah ngobrol dengan papa, mama, dan kakak istriku. Setelah istriku pulang mereka bertiga juga pamit, setelah menasehati putri mereka panjang lebar.
“******, (censored) kamu sekarang sudah dewasa. Jangan terlalu manja lagi. Sekarang sudah ada tanggung jawab besar untuk taat pada suamimu itu. Jangan kamu kecewakan dia, karena itu artinya kamu kecewain dan bikin malu kami juga. Jangan terlalu banyak ada kata maaf dalam kehidupan kalian, tapi perbanyaklah kata terimakasih. Suamimu orang yang lebih tau agama dari kami, sehingga apa yang kami tak sempat berikan dulu bisa ditebus. Belajarlah, jangan berhenti pada satu titik dan merasa puas. Belajarlah menjadi wanita dewasa, belajarlah agama untuk kamu ajarkan pada anak-anak kalian, dan jangan lupa, kalian menikah karena ada masalah yang sangat penting diatas kepentingan kalian berdua. Jangan hanyut dalam kebahagiaan kalian berdua, pikirkan hal yang lebih besar dari itu. Papa mama dan kakak cuma bisa berpesan. Selanjutnya kamu sendirilah yang akan jalani itu semua.” Nasehat papanya panjang lebar, dan terasa sejuk di telingaku. Istriku memeluk mereka bertiga sambil menangis. Lalu papanya memandang kearahku dengan pandangan tajam. Beliau diam sejenak, lalu berkata.
“Mas *****, (censored) mas udah cukup lengkap pengalaman hidupnya berdasarkan kisah ustadz anda dan pak *******. Kami tak perlu banyak menasehati. Kami cuma pesan, jaga dan sayangi putri kami satu-satunya itu. Bimbing dia supaya dia menjadi tau tentang hidup, jangan segan untuk meluruskan kesalahan-kesalahannya. Jangan segan untuk datang pada kami ketika suatu saat nanti kalian mendapat kesulitan. Anggap kami orang tua mas, dan kakak mas ***** (censored) sendiri. Kami ikhlas menerima mas dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dan dengan ini kami pasrahkan putri kami dalam penjagaan, perlindungan, dan tanggung jawab mas *****. (censored) Semoga barokah dan bahagia dunia akhirat. Amin.” Lalu mereka bertiga memelukku dengan erat. Aku cuma bisa terdiam. Menangis, bahagia, haru, tapi juga berat.
Kami berdua mengantar mereka ke mobil. Setelah mereka pergi, kami berdua kembali ke kamar, ngobrol tentang rencana-rencana kami kedepan sampai adzan Maghrib berkumandang. Kami berjama’ah lagi, setelah itu aku tadarus seperti biasanya, sedangkan istriku tiduran di pangkuanku sambil SMSan entah sama siapa. Keadaan itu terjaga sampai adzan Isya’ berkumandang dan kami kembali berjama’ah seperti biasa. Sehabis itu aku tiduran, dan istriku masih SMSan entah dengan siapa. Kupandangi wajahnya, begitu cantik, manis, lembut, dan tulus. Kegembiraannya tidak dibuat-buat. Subhanalloh, aku masih belum yakin bahwa gadis secantik, sekaya, dan seterhormat dia itu sekarang sudah menjadi istriku. Kembali kuingat nasehat-nasehat orang tuanya dan ustadzku tadi siang. Tak terasa air mataku meleleh.
Sial, dia melihatnya. Secepatnya dia naik keatas tubuhku yang telentang, wajahnya sekarang ada didepan wajahku persis. Bidadari mungil ini tersenyum, meski aku tau dia menyimpan kesedihan melihatku menangis.
“Ada apa, mas? Kenapa dimalam bahagia ini mas malah menangis?” Tanyanya dengan lembut dan pelan banget.
“Ade’… ade’ jangan berpikiran yang ngga-ngga. Mas ngga kenapa-kenapa. Mas teringat nasehat-nasehat dari ustadz, papa, mama, dan dosen mas tadi siang. Pernikahan itu berat… mas takut tidak mampu mempertanggung-jawabkan ade’ di hadapan Alloh nanti di akhirat.” Jawabku dengan senyum yang kupaksakan.
Dia diam saja. Lalu memelukku dengan erat. Dia cium keningku dengan lembut. Lalu berbisik, “Kita akan jalani itu semua berdua, bertiga, berempat, atau berlima dengan istri-istri mas nanti. Semua akan lebih mudah ketika beban itu kita tanggung bersama.” Jawabnya dengan pandangan langsung kearah mataku.
“De’, poligami itu belum masuk kamus kehidupan mas. Poligami itu, cuma mas pahami sebagai sesuatu yang sangat berat tanggungjawabnya. Selain itu, mas belum paham sepenuhnya gimana konsep adil itu. Kalau pembagian materi, ade’ jelas tau apa yang mau dibagi dari mas. Mencukupi hidup mas sendiri aja masih berat, apalagi dengan dua atau lebih istri. Pembagian giliran, ade’ juga tau gimana urusan mas. Kalau mas udah di depan screen laptop atau dokumen-dokumen mas malas diganggu. Jelas giliran ade’ dan istri-istri lainnya jadi kacau. Belum kalau sewaktu-waktu mas harus ke luar negeri.” Terangku pada istriku yang mungil ini.
“OK, terserah mas aja. Ade’ ikut mas. Mas imam ade’ sekarang. Ade’ tau, mas ngga selemah ini, ngga sepesimis ini, ngga sepenakut ini. Ade’ tau, mas udah jalani hidup yang keras dan lengkap. Jangan kaget kalau ade’ juga tau, mas sudah sering membantu masalah-masalah keluarga teman-teman mas yang udah menikah, sejak SMA dulu. Misalnya keluarga **** dan *****. Mas yang masih SMA bisa meyakinkan orang tua mereka, yang sebelumnya ngga bisa menerima pernikahan kedua teman mas itu. Ade’ tau kelebihan dan kekurangan mas. Ade’ insyaAlloh bisa menghargai dan menerima itu.” Jawabnya dengan nada tegas.
“Terus, masalah harta…”
“Tenang, semua yang ade’ punyai sekarang milik mas juga. Mas boleh memakainya sesuka mas. Ade’ yakin mas mampu me-manage-nya. Semua itu boleh juga dibagi untuk istri-istri mas yang lain nanti kok…” “Subhanalloh!” Jeritku dalam hati. Baru kutahu ternyata dia selain cantik juga sebaik ini. Aku tak bisa jawab apa-apa. Aku cuma bisa memeluknya dan mencium keningnya. Sehabis itu aku menyiapkan buku-buku dan dokumen-dokumen yang perlu kuanalisa besoknya. Istriku masih SMSan dengan mba’ nya yang sangat disayanginya itu. Jam 11 malam aku udah ngantuk banget, tapi dia belum. Aku mohon ijin mau tidur, dia mengiyakan, akhirnya aku tidur dalam pelukan hangat seorang istri untuk pertama kalinya dalam hidupku. Alhamdulillah.
Pagi-pagi jam 3 aku terbangun, istriku tergeletak disampingku, dengan HP masih digenggaman tangannya. Aku mau tahajud, dan mau ajak dia sekalian. Tapi kulihat-lihat ada yang aneh dengan anak ini. Dia lebih mirip orang pingsan daripada orang tidur. Kucoba bangunkan dia, dia ngga bisa bangun. Aku begitu panik sampai hampir lupa mau bawa dia ke Rumah Sakit. Untung aku masih ingat bahwa itu tindakan yang sangat berbahaya kalau sampai dia diantar “orang tak dikenal” seperti aku ke Rumah Sakit. Aku tahajud sendiri mendoakannya supaya lekas bangun sampai adzan Subuh berkumandang. Aku lanjutkan dengan sholat Fajar yang menjadi kebiasaanku lalu sholat Subuh yang seingatku sangat khusyuk. Sehabis Subuh belum ada tanda-tanda yang lebih baik. Akhirnya aku coba SMS mba’ ****, siapa tau bisa membantu. Mba’ malah membalas dengan kata-kata perpisahan. Kucoba bujuk dia untuk mencabut kata-kata itu karena istriku sayang banget sama dia. Kubisikkan kata-kata dari SMS mba’ ke telinga istriku dan dia akhirnya bangun, terus SMSan sama mba’. Semakin dia SMS semakin kulihat dia menjadi sehat. Dia bilang tadi malam sempat ribut sama mba’, tapi sekarang udah baikan, Alhamdulillah.
Setelah semuanya normal, aku kembali ke meja dan menghadapi laptop dan dokumen-dokumen yang sejak beberapa minggu lalu menjadi fokusku bersama beberapa peneliti lain dari luar negeri. Istriku kemudian mandi di kamar mandi dalam kamar, dan keluar dengan badan yang wangi. Wajahnya udah ceria lagi. Dia lalu duduk di pangkuanku, dan dia kemudian bilang kalau dia “pengen” melakukan “itu.” Langsung konsentrasiku hilang mendengar kata “itu”. Melihat wajah penuh pengharapannya aku jadi ngga tega.
Aku diam beberapa saat, menguatkan hatiku, bertanya apa aku perlu mandi dulu tapi dia bilang ngga usah, akhirnya kugendong dia ke kasur. Setelah membaca doa perlindungan yang sudah kuhafal beberapa hari lalu, kamipun menikmati … (tau sendirilah, ngga perlu kuceritakan lebih lanjut daripada blog temenku ini kena sensor BSF dan melanggar UU Pornografi…). Selesai semuanya, kulihat ada noda darah di spray, satu hal yang sebenarnya sangat mengejutkanku karena aku memang tak terlalu berharap mendapatkan kegadisannya, mengingat dunianya hidup selama ini yang begitu bebas. Alhamdulillah, ternyata dia wanita yang, insyaAlloh, pandai menjaga diri. Begitu kulihat wajah istriku, kulihat ada cahaya kelegaan. Subhanalloh, inikah cinta itu. Kami kemudian tidur berpelukan sampai adzan Dzuhur berkumandang. Dan inilah saatnya untuk melakukan mandi besar pertamaku bersama seorang wanita.
Hari-hari kami berikutnya terasa ada yang lebih. Malam terasa begitu cepat dan siang terasa begitu lama menunggu dia selesai jobnya. Sampai lewat bulan puasa tahun ini, berarti dua bulan kami jalani hidup dalam ikatan pernikahan ini, begitu banyak kejadian yang sampai sekarang masih belum bisa kupahami ada hikmah apa di balik ini semua. Beberapa kejadian membuat hubungan antara keluargaku dan keluarga ustadz muda dari Jatim itu tambah dekat dan akrab. Dimana keluargaku ada masalah, keluarganya juga merasakannya dan ikut berpusing-pusing ria membantu memikirkan gimana pemecahannya, dan begitu juga sebaliknya, dan Alhamdulillah, hal itu masih terjaga sampai saat aku menuliskan kisah ini. Ada juga seorang gadis lain masuk kedalam kehidupan bersama kami kurang lebih 2 minggu setelah aku menikahi gadis mungil itu. Kisah yang membuatku berlinang air mata waktu mengingatnya, karena aku dan gadis mungilku itu hanya sempat merasakan kebersamaan yang indah dengan gadis baru itu selama dua mingguan saja. Setelah gadis baru itu meninggalkan kami berdua, muncul lagi penggantinya yang masuk dalam kehidupan kami pada minggu-minggu akhir bulan puasa kemarin, tepat pada peringatan ulang tahun istri mungilku yang ke 25. 2 minggu yang berat tapi juga indah, insyaAlloh akan kutulis di lain kesempatan. Amin. Yang pasti, aku tambah cinta sama kamu, mungil…

Untuk gadis mungilku, terimakasih untuk semuanya. Aku tak tahu harus mengatakan apa, yang jelas aku sangat bersyukur punya istri sholehah (insyaAlloh) sepertimu. Terimakasih sudah mendampingiku disaat semuanya terasa berat. Mataku baru terbuka pada satu kenyataan bahwa, selain cantik, kaya, dan terhormat, kamu juga punya kemauan keras untuk belajar. Kamu sangat cerdas, harus jujur kuakui itu. Pada beberapa saat kamu mengingatkanku pada istri-istri nabi SAW dan sahabat-sahabatnya. Ingat istriku, jihad kita insyaAlloh masih panjang. Jaga itu semua sampai ujung usia kita tiba.
Untuk gadis mungil kedua, putri bungsu ustadzku, terimakasih sudah membantu istriku menjalani hidupnya bersamaku. Meski pada awalnya aku sangat berat untuk menerimamu, tapi aku tak mau mengecewakan penantianmu selama 8 tahun itu. Aku belum pernah menemui wanita secantik kamu, semanis kamu, sebaik kamu, sesholehah kamu, setaat kamu, secerdas kamu, sepolos kamu, dan seterusnya. Kamu cahaya bagiku meski hanya bersinar terang selama dua minggu saja. Tapi di hatiku dan orang-orang yang pernah mengenalmu, kamu tak akan pernah padam. Selamat jalan sayang.
Untuk gadis mungil ketiga, kamu memberikan cahaya baru bagi keluargaku dengan mata biru indahmu. Maafkan aku yang kurang ikhlas menerimamu pada awal-awal kebersamaan kita. InsyaAlloh aku sudah ikhlas sekarang, dan siap untuk berjihad bersama-sama. Tolong bantu mba’ mungilmu dengan pengetahuan dan pengamalan agama, yang kutahu kamu memilikinya, karena seperti kamu tahu, setiap saat bahaya mengancam kami berdua, dan bisa merenggut nyawa kami setiap saat. Terimakasih sudah membantu menguatkan hati yang rapuh ini dengan senyummu yang menenangkan. Jaga baik-baik janin dalam perutmu supaya kamu bisa melahirkan mujahid-mujahidah yang akan membantuku nanti, amin.
Untuk seorang gadis mungil lain yang 9 tahun lebih ini menantiku meminangnya, aku tak berani berjanji selain, aku akan berusaha semampuku dan secepat mungkin. Aku tak mau membuatmu menunggu lebih lama lagi. Setiap malam aku tak bisa tidur nyenyak kalau ingat kegelisahanmu, harapan-harapanmu, impian-impianmu bersamaku, dan sebagainya, meski disampingku ada dua wanita yang memelukku dalam tidurku. Sungguh, aku lebih mencintaimu dibanding 3 wanita yang kusebut sebelumnya, dan mereka pun tahu itu. Mereka sama sekali tidak keberatan, apalagi cemburu padamu. Semoga impian-impian kita bisa dikompromikan, dan terlaksana secepatnya, amin amin ya robbal ‘alamiin.
Untuk keluarga Ustadz dari Jatim, semoga ukhuwah kita terjaga selamanya. Sudah terlalu banyak hal terjadi pada keluarga kita berdua, dan itu membuat kita bukan semakin menjauh, tapi malah semakin mendekat. Semoga istrimu mendapat “adik” yang diinginkannya, secepatnya, amin. Sesungguhnya aku tak pernah mengira bahwa istri mungilku bertautan darah yang tidak terlalu jauh denganmu. Subhanalloh.
Untuk Eko, terimakasih sekali lagi untuk ruangan berbaginya. Semoga ada ibroh bisa kamu petik dari sini, sekalian untuk persiapan pernikahanmu. Tentang pekerjaan, apapun pilihanmu, serahkanlah pada yang Maha Kuasa. Semoga Alloh menunjukkan hidayah-Nya padamu dan kamu dikaruniai kehidupan yang lebih baik dari sekarang. Bersiaplah untuk menikah sebelum datang fitnah. Dunia nyata tak seperti novel dan film cinta, jangan berkaca dari karangan yang timbul dari khayalan manusia. Belajarlah dari pengalaman orang-orang yang telah mengalaminya. Merci pour tout.
Untuk Nina adikku, meski kamu pernah memarahi abang karena pernikahan ini, dan meski akhirnya kamu mau menerima gadis mungil itu sebagai kakak iparmu “yang pertama”, abang tetap sayang kamu. Abang ucapkan terimakasih atas dukunganmu. Dukungan setelah kritik tajam biasanya tulus dan abadi. Sungguh, masih banyak yang belum kamu tahu tentang hidup, apalagi kehidupan pernikahan abang yang bagi orang kebanyakan mungkin tidak wajar. Abang masih agak sulit menceritakan semuanya padamu lewat SMS, abang lebih tenang jika suatu saat kita duduk berdampingan dan abang ceritakan semuanya, dan terserah kamu pandang seperti apa. Tanpa pemahaman yang menyeluruh cerita abang hanya akan menimbulkan caci maki dan kebencian. Sekali lagi, terimakasih, abang sayang kamu, adikku.
Untuk seorang gadis kecil yang lucu, kepolosanmu terkadang menggelikanku dan kakak-kakakmu. Belajarlah untuk menjadi agak dewasa sedikit. Aku tahu kamu sebenarnya bukan anak manja, melainkan anak yang terbiasa menderita sepertiku. Belajarlah dari ketiga kakakmu, insyaAlloh hidupmu akan diliputi kebahagiaan. Amin.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Untuk Eko, terimakasih sekali lagi untuk ruangan berbaginya. Semoga ada ibroh bisa kamu petik dari sini, sekalian untuk persiapan pernikahanmu. Tentang pekerjaan, apapun pilihanmu, serahkanlah pada yang Maha Kuasa. Semoga Alloh menunjukkan hidayah-Nya padamu dan kamu dikaruniai kehidupan yang lebih baik dari sekarang. Bersiaplah untuk menikah sebelum datang fitnah. Dunia nyata tak seperti novel dan film cinta, jangan berkaca dari karangan yang timbul dari khayalan manusia. Belajarlah dari pengalaman orang-orang yang telah mengalaminya. Merci pour tout.

hufh....yeah hidup mang gag seperti nvel dan film cinta ... dan sy juga gag bakal mau hidup didalam nya too s**k!!! tapi sy udah mengambil keputusan yang sedikit berbeda dengan jalan yang kau pilih sahabat!!! jalan yang bener2 BERBEDA... semoga kita bisa mengambil hikmah dari pa yang udah kita pilih!!!!
luv u all

Anonim mengatakan...

hey kamu!!!! ya kamu!!!!!ntu ustadz dari jatim ngapain nongol di situ......................suxxxxxx.......eh mok.......