Selasa, 22 Juli 2008

Cinta untuk gadis manis mungilku (part 1: beratnya tumbuhkan cinta)

Seorang sahabat pernah bercerita tentang complicetednya sebuah CINTA yang hanya terdiri dari 5 huruf namun penuh dengan sejuta misteri…berikut ini saya coba paparkan berdasarkan apa yang telah sahabat ku ceritakan…!!!!

Cinta untuk gadis manis mungilku (part 1: beratnya tumbuhkan cinta)

(Hari Pertama)
Sore itu, aku baru menyadari bahwa jodoh itu merupakan hal yang sangat misterius. Diantara 3 rahasia Alloh – itupun kalo mau dilihat sebagai 3, karena kulihat ketiganya adalah satu, bukan bermaksud untuk membicarakan doktrin salah satu agama yang dianut beberapa anggota keluargaku, namun karena pada hakikatnya, jodoh dan umur pun termasuk rejeki – yang namanya jodoh itu merupakan yang paling complicated jika dibandingkan dengan rejeki maupun umur, bahkan pada diriku sendiri yang pernah terkenal pada waktu SMA dulu sebagai playboy.
Awalnya, aku sangat benci gadis mungil itu, apalagi dunianya. Dunia dimana privasi individu dan kejujuran menjadi diri sendiri bukanlah sesuatu yang patut dihargai, namun malah sebaliknya, dimana kepandaian berpura-pura dengan kepalsuan yang dibuat-buat malah mendapatkan penghargaan setinggi-tingginya. Dunia yang sudah kubenci sejak SMP, karena sejak itulah aku mengenal filsafat-filsafat anti-kemapanan yang kemudian tertanam dengan sangat kuat dalam otak dan hatiku.
Aku tak pernah peduli pada kemunculan gadis mungil yang aku pikir telah tenggelam dalam dunia palsu itu. Malah aku pernah merasa benci padanya, meskipun belum pernah bertemu dan berkenalan dengannya, karena “kepalsuannya” kuanggap sangat menghina prinsip-prinsip hidupku, agamaku, yang paling mendasar. Sungguh, aku dulu tak pernah membayangkan, bahwa perasaan yang timbul hanya dari tahu penampilan saja itu, ternyata sedang mencemooh aku sekarang ini.
Aku bukan orang yang mudah jatuh cinta, namun sebagai mantan “el-crocodilo” instingku terhadap perasaan gadis yang baru kukenal sangat kuat. Aku dengan gampang bisa menebak watak, sifat, dan pembawaan seorang wanita (baik yang masih gadis maupun ngga), hanya dengan berbicara dengannya selama minimal 10 menit. Kepekaan syarafku terhadap perasaan wanita itu pulalah yang mengejekku sekarang ini. Aku selalu menduga bahwa, takkan pernah terlintas dalam pikiran gadis seperti dia untuk mencintaiku, dan sekarang aku sadar bahwa aku salah. Aku tak tahu kenapa aku bisa salah seperti ini.
Dia – harus jujur kuakui – gadis yang sangat manis, disukai banyak orang, feminim, smart, berambut hitam panjang, jarang memakai make-up, jadi kecantikan wajahnya benar-benar alami. Beberapa sifat dan penampilan itu cocok dengan apa yang kusebut sebagai “my type”. Tapi diluar itu, sebelumnya, aku juga sangat membencinya karena dia hanya memakai jilbab – yang merupakan kriteria pertamaku dalam mencari pendamping hidup – pada saat dibutuhkan orang-orang yang ingin mendapatkan sedikit “keuntungan” duniawi dari penjualan kecantikan wanita itu saja.
Seorang teman kemudian mempertemukanku pada gadis mungil itu, setelah dia menyampaikan kritikku atas keikutsertaannya dalam salah satu kegiatan “obral kecantikan”. Ternyata, apa yang SEDIKIT kupikirkan tentang selama ini salah besar lagi. Dia ternyata seorang gadis mungil yang sangat matang, sangat tahu perannya dalam dunianya, dan ingin berjuang untuk keluar dari situ, serta ingin membantu teman-temannya yang belum terlalu jauh terbius dalam gemerlapnya dunia palsu yang gila itu. Dia ingin melawan semua kebiadaban yang dialami teman-teman lama maupun baru di dunianya itu, namun tak ada teman disana yang berani menegakkan kepala menghadapi kejamnya penguasa-penguasa dunia semu itu.
Dia memelukku, menangis, lalu bercerita banyak mengenai kebiadaban dan ketidaknormalan perilaku manusia-manusia yang tersesat dan terbius oleh gemerlap palsu dunia jahanam itu. (pembicaraan tak perlu diungkapkan disini, karena akan merusak inti cerita ini –ed.) Dia butuh seseorang yang mau dan mampu membantunya keluar dari situ, dan membantunya menghancurkan tatanan kehidupan penuh ilusi itu. Dia pikir orang itu adalah aku. Aku tak tahu kenapa, lalu dia menjawab, “Karena kamu orang yang berani, lugas, dan menguasai banyak hal yang dibutuhkan untuk tujuan itu.” Intinya, dia yakin aku bisa dia ajak berjuang…
Aku ikut menitikkan air mata, sesuatu yang bagi orang seperti “aku” merupakan sebuah hal yang menggelikan, sebuah ungkapan kekalahan, namun sekaligus juga ungkapan perasaan bersalah pernah “menuduh”nya sebagai salah satu agen perusak bangsa “maling” ini. Aku tak kuasa menatap bening mata jujurnya sewaktu mengatakan, “tolong bantu aku…” Apalagi sore itu dia memakai kerudung besar biru muda, dengan baju putih longgar “muslimah” – istilah yang sangat menggelikan bagiku – yang dipadu dengan rok longgar biru gelap yang benar-benar membuatku silau, jauh berbalik dengan penampilan “standar”nya yang suka mengobral rambut dan aurat lainnya. Aku merasa tertampar.
Aku takkan pernah lupa bagaimana dia mengatakan, “Aku udah banyak menjumpai orang yang kupikir bisa menolongku dengan tulus, tapi ternyata semuanya sama saja. Mereka cuma mau menolongku karena tertarik pada kecantikan wajahku saja. Aku tak tau kenapa aku bisa percaya sama kamu untuk menolongku, tapi aku (atas saran temenku yang juga merupakan pengagumnya –ed.) udah baca tulisan-tulisan kritismu di **** (censored), dan entah kenapa saat itu juga aku langsung ingin menemuimu.”
Aneh, aku – yang saat itu sudah menjalin satu hubungan dengan satu gadis lain – seolah-olah terbius matanya, suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Aku tak mampu menjawab sepatah katapun. “Ba***at!!!” (censored) serapahku dalam hati, mendengarkan kenyataan bahwa dunia yang sangat kubenci itu ternyata jauh lebih parah kerusakannya daripada yang pernah aku pahami sebelumnya. Aku masih diam menunggu dia menyelesaikan isak tangisnya. Setelah selesai, aku usapkan tissue yang diberikan temenku untuk menghapus sisa-sisa air mata yang masih meleleh dipipinya yang putih bersih itu.
Setelah tangisnya berhenti aku ajak bicara gadis mungil yang matanya masih merah itu. Aku katakan, “Maaf, kamu bukan siapa-siapaku, sebagai Muslim aku wajib melindungi semampuku sesama saudaranya yang perlu perlindungan, namun sebagai lelaki yang tak ada komitmen untuk saling terikat denganmu aku tak bisa berbuat lebih jauh, selain hanya berdoa semoga kamu selalu dilindungi Alloh.” Dia tertegun agak lama, mungkin kecewa dengan jawabanku yang tak pernah diduganya.
“Jadi kamu ngga mau menolongku?” Tanyanya diikuti tatapan tajam mata indahnya langsung ke mataku. “Oh, my God, this is not like you are thinking about…” Jeritku dalam hati. Aku merasa seperti dipojokkan. “Aku akan membantumu, dengan tulisan-tulisan di **** (censored) yang semoga saja bisa membuka kesadaran orang mengenai keluhanmu.” Lanjutku kemudian. “Itu ngga ada efeknya sama sekali sama aku yang selalu mendapat tekanan langsung kalau aku berani mengungkapkan masalah ini.” Lanjutnya dengan nada datar. “Oh, my God, the only God…” rintihku dalam hati. “So, what can I do for you?” tanyaku. Aku tak dapat membayangkan aku akan tahan bersama dengan gadis ini lebih lama lagi… Aku ingin secepatnya pergi dari sini. Gadis cantik ini benar-benar mengganggu pikiranku dengan kisahnya, karena itu aku bermaksud untuk segera menutup pertemuan ini dengan pertanyaan itu.
Aku lagi-lagi harus menyadari bahwa pertanyaan dan anggapanku tadi salah besar. “Bagaimana kalau kamu melakukan sesuatu yang membuatku menjadi halal bagimu? Kamu tentu tau maksudku?” Katanya dengan nada datar khasnya, sebuah pertanyaan sederhana yang bisa dijawab hanya dengan satu kata, ya atau tidak, tapi berdampak sangat besar dalam kehidupan kami berdua setelahnya, apapun jawabanku. God! Aku tak pernah mengira bahwa aku akan mendapat jawaban seperti itu. Hati dan pikiranku menjadi blank untuk beberapa saat lamanya. Aku tak tau harus menjawab apa, aku SMS seorang teman ustadzku di Jawa Timur, kuceritakan masalah ini dan aku mohon bantuan jawabannya secepatnya.
Sejenak kemudian sebuah SMS masuk ke HPku. “UDAH, KAMU NIKAHI SAJA DIA SECEPATNYA. KAMU NGGA AKAN TAU APA HIKMAH DIBALIK INI SEMUA, TAPI MEMBIARKANNYA BEGITU SAJA BUKANLAH SIFAT ASLIMU YANG KUKETAHUI. KALO KAMU NGGA MAU SESUATU YANG BURUK TERJADI, NIKAHI DIA SECARA SYIRRI. KAMU TETAP WAJIB MELINDUNGI DIA, P***K (censored) TIDAK TAU, DAN DIA LEBIH TENANG.” Aku berikan HP ke gadis itu, dia membacanya, sesaat kemudian dia berkata, “Aku setuju dengan temanmu, aku hanya perlu jawabanmu sekarang juga. Ya atau tidak…” Aku tak tau bagaimana bentuk mukaku waktu itu, yang jelas aku hanya bisa menjawab, “InsyaAlloh.”
Sehabis itu dia menghubungi orang tuanya, dan kami berempat sepakat untuk bertemu lagi besok paginya. Aku pulang dengan hati yang masih bimbang. Aku tak tau kenapa gadis seperti dia mau menikah denganku, pada pertemuan pertama lagi. Sempat aku curiga, jangan-jangan dia diumpankan ********* (censored) untuk menjebakku, seperti yang biasa terjadi pada siapapun yang mencoba untuk membongkar kejahatannya, apalagi ayahnya orang Inggris murni. Aku tak bisa tidur tenang malam itu. Aku bahkan tak bisa tidur sama sekali. Pikiranku melayang kesana kemari. Aku masih tak percaya bahwa besok aku harus membicarakan pernikahan dengan gadis yang baru sehari kukenal, dan baru sekali kutemui.
Aku habiskan rokok hampir dua pak penuh Djarum Super isi 16 malam itu saja. Padahal aku udah berniat untuk mengurangi jatah rokokku supaya ngga kaget kalau harus berhenti merokok nanti. Untuk meredakan kegelisahanku, aku sholat istikharoh, sholat sunat yang lama sekali tidak kulakukan, mungkin karena aku terbiasa stay calm and cool dalam menghadapi setiap masalah yang timbul. Kasus ini membingungkanku, totally confusing. Aku sholat dan berdoa, lama sekali, aku menangis, mengadukan segala permasalahanku pada Robb-ku. Setelah sholat aku tidur, dan… Gadis itu hadir dalam mimpiku. Dia tersenyum, manis sekali…
(Hari Kedua)
Aku pusing banget pagi itu. Aku bangun dengan hati kacau, meski pikiranku udah agak tenang. Aku mandi dan bersiap-siap menunggu gadis itu datang menjemputku. Jam 8 lebih sedikit dia datang dengan mobil *** hitam ****** nya, (censored) satu hal yang sebenarnya sudah cukup untuk membuatku down untuk menemuinya. F**k (censored) it all!!! Aku berdiri, seorang bidadari dengan kerudung hitam, baju putih berbordir emas dan rok hitam turun dari mobil itu. Kembali aku tertegun melihatnya.
“Heh, ayo naik. Udah ditunggu papa mama nih…” tegurnya melihat aku yang masih saja bengong. “Subhanalloh, cantik banget anak ini, apa iya aku akan menikahinya…” jeritku dalam hati. Sebelum kami pergi aku udah berdoa dan pasrahkan semuanya pada Alloh, kalau emang ini merupakan sebuah jebakan yang akan menghabisiku aku udah rela, tapi tentu saja aku tak akan pasrah tanpa perlawanan begitu aja. Aku SMS temenku, kutitipkan semua buku, dokumen, dan data di komputerku, dan minta dia untuk menulis tentangku kalau aku tiba-tiba menghilang.
Aku naik ke mobil dengan hati yang tak menentu. “Bismillahi tawwakaltu ‘alallohi laa haulaa walaa quwwata ila billah…” doaku dalam hati begitu kututup pintu mobil bagus yang tak tahu akan bisa kuperoleh dalam waktu berapa tahun dengan pekerjaan sebagai penulis hal-hal yang tidak populer ini. Aku belum bisa menyopir, jadi aku duduk di samping gadis yang menyopir dengan kelincahan yang mengagumkanku itu. Dia banyak menanyakan mengenai tulisan-tulisanku, sejak kapan aku menulis, kenapa aku tertarik dengan hal-hal yang bagi orang banyak termasuk asing. Semua pertanyaannya kujawab seperlunya, tanpa basa basi, sambil di dalam hati kulafalkan zikir, “Ya Alloh, Ya Alloh, Ya Alloh…”
Akhirnya kami sampai juga di rumahnya. Di pintu depan kami disambut oleh kedua orang tuanya. Papanya langsung menyalamiku dan memelukku. Segera kami masuk ke ruang makan rumah besar itu. Kami langsung menyantap makanan yang udah terhidang, gadis itu seolah tau aku ngga terbiasa makan dengan pisau di tangan kanan dan garpu di tangan kiri, bergegas mengambilkan aku sendok dan garpu untukku. Sewaktu menyerahkannya, tangannya menyentuh jariku, entah kenapa aku malah memeganginya agak lama, setelah kesadaranku pulih aku segera tepis tangannya dan aku menunduk. “Astaghfirulloh al ‘adziiem...” Seruku dalam hati. Aku memang bukan ustadz, bukan orang alim, namun aku masih sadar bahwa aku bisa saja tertarik padanya kapan saja, dan itu bahaya. Dia tersenyum dan kembali duduk disampingku.
Kami kemudian makan, hening, sampai papa gadis itu mulai membuka pembicaraan. Aksen British-nya kentara sekali. Beliau menanyakan keseriusan anak gadisnya itu, dan tanpa basa-basi dia mengiyakannya dengan sikap mantap. Lalu dia menanyaiku. Aku agak gagap menjawabnya. “Emm, ya sir. Tapi perlu diketahui bahwa sayapun saat ini sedang menjalin satu hubungan serius dengan seorang gadis lain di *****. (censored). Jadi kalaupun saya menikah dengan ***** (censored), anda dan dia harus rela untuk menerimanya kalau sudah tiba saat saya harus menikahi gadis itu nanti.” Jawaban itu mengalir begitu saja.
Sang papa kemudian menanyai anak gadisnya apa dia bersedia. Seperti tadi, dia mengiyakan dan mengangguk dengan mantap. Sungguh, kalau aku bukan orang yang sedikit bisa menahan diri, aku pasti sudah lari dari situ saat itu juga. Aku tak pernah terbayang untuk poligami seumur hidupku, kecuali dalam bercanda sama temen-temen saja. Aku berkeringat dingin. Lututku gemetar. “Bagaimana mas?” Tanya papanya mengejutkanku. “Iy… iy… Yes, sir. InsyaAlloh saya… (aku terdiam agak lama) saya siap. Tapi ada aturan-aturan main yang harus anda semua sepakati. ” jawabku yang akhirnya menemukan kembali kejantananku yang dari kemarin seolah meninggalkanku entah kemana.
Lalu kami membahas masalah-masalah yang akan kami hadapi (tentu saja ngga akan kubahas disini), lalu aturan-aturan yang kutetapkan, Alhamdulillah semua setuju, termasuk kewajiban mengenakan jilbab kalau dirumah, meskipun saat tidur. Setelah selesai, gadis itu kemudian mendekatiku, memelukku dari belakang dan mencium pipi kananku di depan kedua orang tuanya sambil berbisik, “Makasih ya…” lalu kami masuk pembicaraan untuk menetapkan kapan dan dimana akad nikah mau dilangsungkan. Akhirnya tercapai kesepakatan ngga lebih dalam waktu kurang dari satu bulan kedepan. “Gila, mimpi apa aku semalam?” Batinku dalam hati. Setelah selesai makan dia mengajakku duduk-duduk di gazebo di teras belakang rumahnya. Aku masih agak canggung, dia menggandeng tanganku ke salah satu gazebo disitu. Kami mengambil kursi yang saling berhadapan.
“Gimana? Ngga sulit kan?” tanyanya dengan senyum yang tulus, tak seperti yang diperlihatkannya sore kemarin. Aku masih dieeem aja. Aku masih belum percaya bahwa aku baru saja membuat salah satu perjanjian yang paling berat konsekuensinya dalam agamaku ini. “Please give me a second to think freely…” Jawabku dengan nada yang sangat datar, emotionless. Dia seakan memaklumi keadaanku saat ini, dia ikut diam. Kami saling berdiam diri untuk beberapa saat lamanya, lalu entah setan mana menghampiriku aku tiba-tiba teriak, “This is very wrong!!!” Teriakanku itu rupanya mengejutkannya.
“Apa yang salah?” tanyanya sambil mendekatiku, lalu dia duduk di kursi di sebelahku. “Apa harus kukatakan bahwa aku sama sekali belum bisa mencintainya, padahal tanggal akad udah ditetapkan…” tanyaku dalam hati. Aku berpikir agak lama, dan akhirnya kuputuskan untuk mengatakannya, bagaimanapun reaksinya nanti. “Maaf, aku meskipun pernah jadi playboy, tapi aku bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta. Awalnya pun aku sangat benci sama kamu, kamu tau sendiri apa masalahnya. Aku, jujur aja, meski tanggal pernikahan udah ditetapin, masih belum ada cinta yang tumbuh untukmu. Semua ini hanya rasa sayang dan kasihan pada nasibmu yang selalu menghadapi tekanan yang sangat berat aja. Mohon kamu maklumi itu…” Akhirnya keluar juga.
Diluar dugaanku, dia malah tersenyum manis. “Aku paham itu. Aku malah heran seandainya orang sepertimu bisa mencintaiku hanya dalam waktu sehari semalam saja. Aku tau kebencian dahsyat awalmu padaku, apalagi pada duniaku. Tapi kamu perlu tau, aku tak terpengaruh sedikitpun oleh hal itu. Detik pertama kamu menyatakan kesediaanmu menikahiku, detik itu pula aku berjanji untuk mencintaimu setulus hatiku, with no reserve. Perasaan cintaku padamu yang mulai tumbuh sejak aku melakukan sholat istikharoh tadi malam tak akan terpengaruh oleh itu. Kalau kamu ada sedikit rasa sayang yang tulus, sedikit saja, itu sudah cukup bagiku.” Aku tertegun mendengar jawaban itu. Kupandang lagi wajah putih bersihnya itu. Matanya seolah-olah berkata bahwa dia jujur. “O, dia istikharoh juga to…” kata suara hatiku.
“OK, you have understood and accepted it. Jangan ada complain di belakang nanti.” Jawabku dengan ketegasan yang pasti bisa dia rasakan, meski dia tidak di hadapanku. Dia tetap memandang kedepan sambil mengangguk mantap. Dia lalu memeluk aku di pinggang. Dalam keadaan biasa pasti udah aku kibaskan dia. Tapi menyadari bahwa dia adalah calon istriku aku diam saja, meskipun ajaran agamaku mengatakan bahwa itu tetap saja salah. Aku menoleh ke kiri, dan bertemu pandang lagi dengannya yang juga menoleh ke kanan. Entah kekuatan apa yang menggerakkan, tangan kiriku kemudian bergerak merengkuh pundaknya. Dia lalu menyandarkan kepalanya ke tubuhku. Lalu kami sedikit memutar tubuh supaya bisa berhadap-hadapan, dan kami tau-tau sudah berpelukan dengan eratnya. Aku bisa rasakan kebahagiannya dalam senyum manisnya yang mengembang.
Dada kecilnya yang menempel ke dadaku terasa berdetak kencang. Aku kecup keningnya, dan saat itu pula aku baru menyadari bahwa dia cantik sekali, gadis mungil yang manis sekali, meskipun tak memakai make up seperti penampilan standarnya. Tangan kananku yang memeluknya mengelus-elus lembut belakang kepalanya yang terbungkus kerudung hitam. Dia memejamkan mata seolah menikmatinya. Aku hampir saja lupa diri mau mencium bibir merah mudanya kalau saja waktu itu tidak terbersit pikiran bahwa dia belum halal bagiku, spontan aku menarik tangan dan kepalaku sambil berucap lirih “Astaghfirulloh al ‘adziim…” Dia sepertinya paham, dan memilih untuk tak berkomentar. Kami melanjutkan kebisuan itu selama beberapa menit, sampai adzan Dzuhur terdengar.
“Ayo kita Dzuhur-an bareng.” Ajaknya seraya mengulurkan tangan kanannya. Aku menyambut ajakannya dan mengulurkan tangan kiriku menyambutnya. Kami sholat bareng di dalam kamarnya, sementara orang tuanya di ruang sholat disebelah kamarnya. Selesai sholat, dia ulurkan tangannya untuk menyalamiku, aku seperti terhipnotis kembali menyambutnya, kemudian dia menarik tanganku lalu mencium punggung tanganku dengan penuh perasaan. Sebenarnya aku merasa kurang sreg, namun entah kenapa aku tak kuasa menolaknya. Setelah selesai berdoa sendiri-sendiri kami keluar dan menuju ruang makan untuk lunch bareng ortunya lagi.
Setelah lunch kami mengantar orang tuanya yang mau pulang, aku kemudian menyalakan rokokku yang sejak pagi belum kusentuh di ruang tamu. Dia melihatku dengan pandangan sayang, lalu bertanya, “Sekarang kita mau ngapain?” Pertanyaan basa basi itu tidak kujawab, aku meneruskan merokokku yang ternyata memang bisa membuatku sedikit rileks. Dia lalu berkata lagi, “I do hate smokers, but why still I do love you…” Aku agak terkejut dengan pernyataan tersebut, dan ketika itu baru kusadari bahwa tidak ada asbak di mejanya. Aku kemudian keluar untuk membuang rokok yang masih separuh lebih itu, lalu masuk lagi dan mengatakan, “Maaf…”
“Ngga papa. I do comprehend it…” Jawabnya diiringi senyum manisnya. Lalu kembali kami terduduk dalam kebisuan yang mencekam selama beberapa lama. Tak enak dengan keadaan itu, aku meminta untuk diantarkan pulang saja, dia tak keberatan dan segera mengantarku. Di jalan dia seperti waktu berangkatnya, banyak bertanya, dan aku hanya menjawab seperlunya saja. Sesampainya di rumah dia langsung balik lagi setelah mencium keningku. Kami lanjutkan hari itu dengan SMSan seharian penuh. Malamnya kembali aku tenggelam dalam pekerjaan editingku, tetap sambil SMSan sama dia.
(Hari Keenambelas)
Hari-hari kemarin ini kulalui dengan pekerjaan editing dan proof-reading yang memaksa aku bolak balik online mengecek akurasi dan men-scan puluhan buku dalam sekali waktu membuatku seperti kembali pada kodratku. Kembali rokok dan kopi menjadi teman setiaku bersama dua teman baikku dalam mengedit buku yang jadi tanggung jawabku itu. Kami berdua selama ini hanya berhubungan melalui SMS dan telpon, tanpa pernah ketemu. Dalam enambelas hari kami sudah lumayan cukup bisa saling membuka diri. Aku heran kenapa aku lebih mudah komunikasi lewat SMS atau telpon daripada waktu ketemu langsung. Mungkin aku kebanyakan on-screen dan di depan buku sehingga membuatku menjadi “anti-sosial”.
Pagi itu aku ngga tahu kenapa aku merasa kangen banget pada gadis mungil itu. Tadi malam dia SMS, bilang kalau dia ingin memanggilku “mas”, dan dia pengin dipanggil “dek”. Aku setujui saja hal itu, meskipun kurasakan agak aneh karena dia setahun lebih tua dari aku. “Menyenangkan hati orang berpahala,” pikirku. Selama 2 minggu itu kami intens SMSan maupun telpon, hubungan kami semakin dekat, seiring dengan beberapa pertengkaran yang juga terjadi diantara kami. Bukan bertengkar tepatnya, karena kalau aku marah aku selalu diam, dan dia kadang tak tahu kalau aku marah. Namun setelah kuberi tahu masalahnya dia selalu minta maaf sambil menangis, dan akupun tak tega untuk tidak memaafkannya. Pertengkaran alamiah memang membuat hubungan jadi tambah dekat setelah ishlah (perdamaian). Demikian juga yang terjadi pada kami berdua.
Kami SMSan seperti biasanya, dan aku harus katakan padanya bahwa mulai tadi malam aku merasa ada sesuatu yang lebih besar daripada rasa sayang dan kasihan yang mulai tumbuh dalam diriku. Sebelum Dzuhur aku SMS dia dengan kata-kata, “DEK, NGGA TAU APA YANG SALAH SAMA MAS, TAPI SEHABIS TAHAJJUD TADI MALAM, MAS MERASA CINTA MULAI TUMBUH. MAS SANGAT YAKIN DENGAN HAL ITU. KARENA ITU MAS TEGASIN BAHWA MAS CINTA SAMA ADEK, SAYANG SAMA ADEK, ADEK NGGA PERLU KHAWATIR BAHWA KITA AKAN NIKAH TANPA CINTA NANTI.”
Agak lama aku menunggu jawabannya, sesuatu yang tidak biasa. Biasanya dia selalu menjawab sesegera mungkin. Setelah agak lama menunggu, sehabis sholat Dzuhur akhirnya sebuah SMS panjang masuk ke folder inbox HP-ku. SMS itu berbunyi “WHAT!!! SUBHANALLOH. ALHAMDULILLAH. BENERAN MAS UDAH BISA CINTA SAMA ADEK? ADEK SENENG SEKALI, MAS. MAS SAYANG, MAKACI YA. ADEK NGGA TAU MAU NGOMONG APA. MAS, ADEK JANJI, ADEK NGGA AKAN SIA-SIAKAN CINTA DAN KASIH SAYANG MAS SAMA ADEK. ADEK JANJI NGGA AKAN KECEWAIN MAS, MESKI HARUS KORBANKAN APA SAJA UNTUK ITU. LEBIH BAIK ADEK MATI DARIPADA HARUS KECEWAIN MAS. PEGANG JANJI ADEK YA MAS. ADEK SUDAH LEGA SEKARANG. ADEK MERASA JADI ORANG YANG PALING BAHAGIA DI DUNIA. ADEK RINDU SAMA MAS. PELUK ADEK YA.”
“Berlebihan…!” Pikirku. Tapi kucoba memakluminya. Yah, dia wanita yang butuh perhatian, cinta, dan kasih sayang. Aku memang merasa cintaku baru tumbuh tadi malam. Aku ngga tahu kenapa aku bisa seperti itu, tapi aku merasa mantap sekarang. Aku bisa merasa tenang menghadapi penikahan syirri yang insyaAlloh akan berlangsung dua minggu lagi. Sekarang aku masih sedang menunggu hari itu, sambil terus menyelesaikan proyek editing yang benar-benar menguras sumber daya pikiran dan emosiku itu. Semoga kedepan, setelah aku menikahinya, aku dan dia bisa lebih baik lagi. Amien. Aku bisa tersenyum sekarang. “Aku cinta kamu, mungil”.

Untuk seorang gadis manis mungil, yang pasti tahu bahwa gadis mungil itu dirinya setelah membaca tulisan ini, semoga kita bisa memperjuangkan apa yang telah kita niatkan dari awal. Pernikahan kita nanti bukanlah pernikahan biasa. Aku insyaAlloh akan membelamu, menjagamu, dengan segala upaya yang mampu kuusahakan. Terimakasih sudah mempercayakan hatimu padaku, aku akan jaga itu baik-baik.
Untuk seorang gadis manis lain yang masih menungguku, maafkan aku kalau harus seperti ini. Aku tak ingin membohongimu, dan aku tak bermaksud mengkhianati cintamu yang telah terbukti tulus padaku selama bertahun-tahun. Aku ingin kamu tahu bahwa, meski aku menikahi gadis lain sebelum kamu dan tidak memberitahukanmu, tidak berarti aku berniat membohongimu dalam pengkhianatan, apalagi meninggalkanmu. Tolong pahami bahwa aku mendapat amanah untuk menjaga gadis itu. Aku bukan pengkhianat, dan suatu saat kamu akan mengerti apa tujuanku menikahinya. Suatu saat aku akan kenalkan dia padamu, setelah aku menikahimu tentunya.
Untuk Eko, sahabatku, pemilik blog ini, terimakasih sudah memberi tempat untuk berkeluh kesah. Semoga blognya semakin ramai, dan kamu bisa mengambil ibroh dari kisah ini.
NAMA, TEMPAT, KEJADIAN & BEBERAPA HAL LAIN SENGAJA DISENSOR DAN DIDRAMATISIR UNTUK MELINDUNGI KEPENTINGAN PELAKU-PELAKUNYA.

Sebuah cerita yang indah...sangat indah menurut saya...semoga temanku bahagia dengan apa yang telah ia pilih, ku bingkiskan sebuah puisi sebagai kado pernikahan mereka...semoga menjadi keluarga sakinah mawadah dan warahmah....amin
Cinta

Tuhan...
Saat aku menyukai seorang teman
Ingatkanlah aku bahwa akan ada sebuah akhir
Sehingga aku tetap bersama Yang Tak Pernah Berakhir

Tuhan...
Ketika aku merindukan seorang kekasih
Rindukanlah aku kepada yang rindu Cinta Sejati – Mu
Agar kerinduanku pada-Mu semakin menjadi

Tuhan...
Jika aku hendak mencintai seseorang
Temukanlah aku dengan orang yang mencintai –Mu
Agar bertambah kuat cintaku pada – Mu

Tuhan...
Ketika aku sedang jatuh cinta
Jagalah cinta ini
Agar tidak melebihi cintaku pada – Mu

Tuhan...
Ketika aku berucap aku cinta padamu
Biarlah kukatakan kepada yang hatinya tertaut pada-Mu
Agar aku tak jatuh dalam cinta yang bukan karena –Mu

Sebagaimana orang bijak berucap
Mencintai seseorang bukanlah apa-apa
Dicintai seseorang adalah sesuatu
Dincintai oleh orang yang kau cintai sangatlah berarti
Tapi dicintai oleh Sang Pencinta adalah segalanya